Yiwu Yunfa Electronic Commerce Firm.

Pembelajaran Daring di Masa Pandemi: Solusi atau Masalah?

Pembelajaran Daring di Masa Pandemi: Solusi atau Masalah?

Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak besar pada berbagai sektor di Indonesia. Tidak hanya sektor ekonomi yang merasa tekanannya, namun sektor pariwisata, transportasi, dan manufaktur juga menghadapi tantangan serius akibat pandemi ini. Sektor pendidikan mengalami perubahan yang signifikan. Kini, sistem pendidikan di Indonesia mengadopsi wajah baru yang menimbulkan berbagai pendapat baik pro maupun kontra di kalangan masyarakat.

Merujuk pada Surat Edaran Kemendikbud Nomor 40 Tahun 2020 mengenai “Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19)”, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, menetapkan beberapa kebijakan untuk menangani situasi darurat ini. Beberapa kebijakan https://imigrasitanjungpinang.com/ tersebut mencakup penghapusan Ujian Nasional, perubahan sistem Ujian Sekolah, penyesuaian regulasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), dan penerapan belajar dari rumah (pembelajaran daring). Di antara kebijakan-kebijakan ini, pembelajaran daring menjadi yang paling banyak memicu perdebatan di masyarakat.

Dalam survei yang dilakukan oleh penulis, kebijakan ini pada awalnya dianggap tepat di tengah pandemi. Banyak wali murid dan praktisi pendidikan berpendapat bahwa ini adalah langkah terbaik untuk melindungi siswa dari penularan COVID-19. Namun, seiring berjalannya waktu dan diperpanjangnya penerapan pembelajaran daring, keprihatinan mulai muncul. Keprihatinan pertama datang dari wali murid yang merasa terbebani oleh tugas-tugas yang diberikan oleh pengajar. Terutama untuk siswa TK dan SD, di mana wali murid membutuhkan peran aktif dalam menyelesaikan tugas daring. Pembelajaran pun dianggap kurang efektif karena siswa menganggap rumah sebagai tempat bermain dan bersantai. Wali murid yang tidak terampil dalam teknologi turut merasakan kesulitan dengan pembelajaran yang berbasis digital.

Keprihatinan kedua muncul dari pengajar yang merasakan bahwa pembelajaran daring tidak cukup efektif. Sejumlah materi ajar, seperti matematika, kesenian, dan olahraga, tidak dapat disampaikan secara optimal. Para pengajar juga belum memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai dalam sistem pembelajaran daring, sehingga metode dan media yang digunakan cenderung repetitif dan kurang inovatif. Beban biaya internet yang meningkat juga menjadi perhatian, terutama karena tidak adanya subsidi internet dari sekolah. Selain itu, siswa, terutama mahasiswa, mengeluhkan sistem pembelajaran daring. Banyak dari mereka terpaksa menunda penelitian karena tidak dapat mengumpulkan data di lapangan, dan proses bimbingan tugas akhir juga terhambat. Akibatnya, target kelulusan mereka terancam tertunda.

Lalu, bagaimana tanggapan pemerintah terhadap berbagai keprihatinan ini? Hingga kini, Nadiem Makarim masih mempertahankan sistem pembelajaran daring. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pun merekomendasikan kepada pemerintah untuk tetap melaksanakan sistem ini, setidaknya hingga Desember 2020, berdasarkan tingginya jumlah kasus infeksi COVID-19 pada anak-anak di Indonesia, yang tercatat sebanyak 2.712 kasus dengan 51 kematian (data Juli 2020).

Sebagai respons, Kemendikbud telah mengalokasikan dana sebesar Rp 8,9 triliun untuk subsidi kuota internet dan tunjangan profesi bagi pendidik. “Ini yang sedang kami akselerasi secepat mungkin agar bisa cair,” ujar Nadiem Makarim dalam Rapat Kerja bersama Komisi X DPR RI yang berlangsung semi daring di Jakarta pada 27 Agustus 2020. Tampaknya, pemerintah tidak memiliki banyak pilihan selain melanjutkan sistem pembelajaran daring hingga situasi membaik. Namun, partisipasi dan aspirasi publik harus diperhatikan oleh pemerintah untuk meningkatkan kualitas sistem pembelajaran ini. Dengan demikian, berbagai keprihatinan masyarakat dapat terjawab dan pemerintah juga dapat lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest

发表回复

您的邮箱地址不会被公开。 必填项已用 * 标注